ANALISIS PERKEMBANGAN BUDAYA SUKU BADUY
A.
Letak Geografis
Suku Baduy salah satu suku asli Banten.
Jumlahnya pendududuk suku baduy sekitar 5.000 – 8.000 orang. Lokasi Suku Baduy
tepatnya berda di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar,
Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota
Rangkasbitung. Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat
6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT.
B.
Agama / Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut
sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang
(animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama
Buddha, Hindu. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau
ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes
(Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut
adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit
mungkin.
C.
Kesenian Khas
Dalam melaksanakan upacara tertentu masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk
memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:
1. Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu
dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan).
2. Alat musik (Angklung Buhun dalam acara
menanan padi dan alat musik kecapi)
3. Seni Ukir Batik.
D.
Makanan Khas
1. Emping menes
2. Nasi sum sum
3. Sate bandeng
4. Kue apem
E.
Organisasi Masyarakat
Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah
dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang
Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup
mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat
menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka
kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi
menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka.
Kelompok tangtu adalah kelompok yang
dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat,
yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.
Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru
tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu
dengan orang asing.
Kanekes Dalam adalah bagian dari
keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam
masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku
Kanekes Dalam antara lain:
·
Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
·
Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
·
Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un
atau ketua adat)
·
Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
·
Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan
dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok
masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes
Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi
wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu,
dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian
dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang
telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang
menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
·
Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
·
Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
·
Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar
·
Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
·
Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan
alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang
oleh adat Kanekes Dalam.
·
Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk
laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian
modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
·
Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring
& gelas kaca & plastik.
·
Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
·
Sebagian di antara mereka telah
terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup
signifikan.
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar
tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar
wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu
Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut
berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.
F.
Bahasa
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa
Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka
lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan
pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya
tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya
tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
G.
Mata Pencaharian
Sebagaimana yang telah terjadi selama
ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani
padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual
buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji,
serta madu hutan.
H.
Pakaian Adat
Baju yang dikenakan masyarakat Banten
sering disebut dengan baju pangsi. Sementara celananya disebut dengan celana
komprang yang panjangnya sebatas mata kaki atau sampai betis.
Dulu pakaian semacam ini sebenarnya juga
sering digunakan oleh masyarakat Jawa Barat Sunda dalam kesehariannya, terutama
pada saat melakukan pencak silat. Makanya, mengenakan pakaian adat ini seperti
seorang jawara.Tapi,masyarakat Jawa Barat sudah jarang mengenakan pakaian
semacam ini. Sementara masyarakat Banten, terutama suku Baduy masih menjaga
kelestarian pakaian adat ini
I.
Rumah Adat
Secara umum rumah adat Baduy merupakan rumah
panggung yang hampir secara keseluruhan rumah menggunakan bahan bambu. Rumah
adat baduy ini sendiri terkenal dengan kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan
naluri manusia yang ingin mendapatkan perlindungan dan kenyamanan.
Bangunan rumah adat Baduy dibuat tinggi,
berbentuk panggung, mengikuti tinggi rendahnya/kontur permukaan tanah. Pada
tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan disangga menggunakan
tumpukan batu. Batu yang digunakan adalah batu kali, berfungsi sebagai tiang
penyangga bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor.